Apa itu Metaverse? Dampak untuk Masa Depan?

E-Belajar.id – Di penghujung tahun 2021 kemarin, ada salah satu berita yang mengejutkan panggung hiburan. Yap! Konser Justin Bieber yang pelaksanaannya secara live atau langsung di metaverse pada (18/11/2021).  Jadi, Justin akan muncul dalam bentuk avatar atau karakter yang ia pilih awalnya. Terus, karakternya akan bergerak mengikuti pergerakan tubuh aslinya secara real-time atau langsung.

Nah, di konser ini Justin membawakan 10 lagu dari albumnya yang bernama Justice (2021). Pada saat konser, penonton bisa mengirimkan emoji dan komentar yang akan muncul selama konser berlangsung. Ada yang sempat nonton konsernya nggak, nih? Eh, tapi, emangnya metaverse itu apa, sih? Kok rame banget ya, sampai banyak banget yang ngomongin ini di mana-mana?

Awal Mulanya

Dikutip dari Forbes, metaverse merupakan konsep yang terdiri dari ruang virtual 3D, dan bisa menghubungkan ke banyak orang di dalamnya.

Menurut Eric Redmond, direktur merek sepatu Nike, metaverse merupakan ruang yang mencakup semua pengalaman digital berada. Mulai dari alam semesta digital yang dapat kita amati dari jutaan galaksi digital. Simpelnya gini deh, itu merupakan sebuah ruang digital. Di ruang digital ini, kita bisa menjadi siapa pun, pergi kemana pun, dan kapan pun.

Nah, konsep ini sebenarnya udah ada dari tahun 1992. Lahir dari karya novel milik Neil Stephenson yang berjudul Snow Crash (1992). 

Dalam cerita itu, Neil mengenalkan kita dengan dua konsep ruang. Ruang fisik dan ruang virtual – atau yang kemudian dirujuk sebagai metaverse. Terus, Philip Rosedale, seorang pengusaha di Amerika, membuat Second Life di tahun 2003. Apaan, tuh? Ibaratnya, itu tuh platform metaverse pertama yang ia ciptakan. Lanjut dengan konsep Massively Multiplayer Online Role Playing Game (MMORPG) di dunia hiburan. Sebenarnya, konsep MMORPG dikenalkan pertama kali tahun 1997, sih.

Sampai akhirnya ke tahun 2021 kemarin nih, Mark Zuckerberg, CEO Facebook, mengumumkan rebranding produk dengan nama Meta. Mereka juga udah membuat metaverse-nya sendiri.

Ada Apa Aja ya, di Metaverse?

Akhirnya, sampai sekarang fenomena ini jadi bahan pembicaraan sana-sini. Tapi, kenapa baru sekarang, ya? Kenapa tidak mereka aplikasikan dari tahun 1992 aja pas novel Neil Stephenson terbit?

Pertama, tentunya karena perkembangan teknologi. Sebenarnya, di tahun 2014 lalu pernah ada perangkat Google Glass atau kacamata yang bisa menampilkan informasi berdasarkan perintah suara, lho.

Kita mau coba terjun ke sana, tapi masih bingung?

Dilansir dari Fortune, salah satu media di New York, sebenarnya mainin game yang bisa multiplayer kayak Animal Crossing aja, itu udah jadi awalan terjun ke metaverse, kok. Karena, kita bisa ketemu sama pemain lainnya dari belahan dunia mana pun. Tapi sayangnya, di game itu, kita nggak bisa menikmati pengalaman metaverse secara real.

Untuk memiliki pengalaman bermain di metaverse secara totalitas, kita butuh beberapa perangkat. Misalnya, Oculus, yaitu perangkat VR yang kita pakai di kepala. Nah, Oculus ini terbeli oleh Facebook tahun 2014 lalu dengan harga 22 triliun. Dengan perangkat tersebut, kita bisa banget mulai explore metaverse ini. Awalnya, tentu buat avatar atau karakter dulu. Kita bisa desain karakter sesuka hati mulai dari warna rambut yang beragam, atau baju yang macam-macam. Ibaratnya, kita ngedandanin karakter sendiri, deh.

Terus, kita bisa langsung terjun ke beberapa platformnya. Salah satunya, yaitu game. Sampai sekarang, udah beragam banget game metaverse yang bisa kita mainin, lho.

Semua game di atas, bisa banget kita pakai untuk memperjualbelikan NFT. Hah? Apaan tuh, NFT? Kita bisa banget nih cari tahu tentang NFT sampai hubungannya sama metaverse di Apa itu NFT? Cara Kerja dan Hubungannya dengan Metaverse, ya.

Terus ketika karakter kita di dalam platformnya udah jadi, voila! Kita bisa jalan-jalan, ketemu banyak orang, menjalankan misi kayak di film Ready Player One (2018), cari teman baru, sampai nonton konser Justin Bieber!

Bahkan dilansir dari Forbes, konsep bekerja atau belajar secara virtual juga bisa kita aplikasikan di metaverse, lho. Jadi, sekarang kerja atau belajar nggak cuma lewat Google Meet dengan fitur yang gitu-gitu aja. Mulai dari nyalain kamera, microphone, dan fitur share-screen.  Tapi, karakter dari tiap orang yang kerja atau belajar itu bisa kita kumpulkan di sebuah ruangan bareng-bareng.

Dampaknya Untuk Masa Depan

Jadi, sekarang semuanya bisa lewat metaverse, ya? Apa mungkin masa depan kita nanti juga jadi di metaverse semua?

Itu baru data dari Amerika aja. Belum lagi Indonesia yang jadi peringkat dua dunia dalam orang terlama yang membuka media sosial. Dari data ini bisa kita simpulkan, kalau sekarang dunia online semakin berkembang. Didukung dengan adanya pandemi Covid-19 juga. Tidak hanya itu, sekarang juga udah mulai banyak bisnis yang merebak ke metaverse. Kota Seoul udah investasi triliunan untuk bikin metaverse dengan layout kotanya. Bisa jadi nanti kita lagi jalan-jalan di sana terus ketemu BTS, kan? Terus, Arab Saudi juga rencana mau mengadakan ibadah haji di metaverse. Ini sih baru rencana aja ya, tapi mungkin aja jadi kenyataan nanti.

Dikutip dari Forbes, beberapa perusahaan sudah mulai mengembangkan inovasi terbaru untuk metaverse di masa yang akan datang. Salah satu contohnya, yaitu Nvidia, merk kartu grafis yang mampu menampilkan konten 3D di komputer. Nvidia mulai fokus menciptakan metaverse-nya sendiri yang mereka beri nama ‘omniverse’.  Selain itu, Bill Gates, pendiri Microsoft, memprediksi kalau metaverse akan benar-benar merambah ke dunia kerja. Nantinya, para pekerja akan semakin bergantung dengan penggunaan VR dan avatar. Lalu merek fashion mewah seperti Gucci, Louis Vuitton, dan Balenciaga juga akan meluncurkan koleksi khusus yang hanya bisa kita beli di dunia metaverse aja.  Jadi, bisa kita simpulkan kalau metaverse udah berkembang sangat pesat dengan banyaknya bisnis yang terjun kesana.

Nah, itu lah perjalanan awal metaverse. Dari awal diperkenalkannya di tahun 1992, sampai sekarang menjadi inovasi di bidang teknologi yang menarik perhatian banyak orang. Dari berbagai perubahan yang udah mulai terlihat sekarang, gimana menurut kalian? Kira-kira, metaverse ini bakal tetap bertahan dan jadi tonggak kehidupan di masa depan nggak, sih?

Kondisi Mental, Pengaruhnya Dalam Belajar

E-Belajar.id – Membahas tentang mentalitas, rasanya ada yang kurang nih kalau kita nggak memahami apa itu mental terlebih dahulu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mental adalah batin dan watak ataupun hal-hal yang bersangkutan dengan hal-hal tersebut. Berbeda dengan fisik atau badan yang bisa kita lihat dan sentuh, mental merupakan sesuatu yang abstrak di dalam diri kita. Nggak bisa di lihat tapi bisa kita pahami.

Menurut pengumuman dari Balai Besar Pelatihan Kesehatan, Ciloto (2020), secara etimologis, kata mental berasal dari bahasa Latin ‘mens’, yang artinya jiwa, nyawa, roh, dan semangat. Arti yang sama juga dimiliki oleh kata ‘psikis.’ Jadi, kita bisa menggunakan kata mental atau psikis kalau kita mau merujuk ke suatu keadaan jiwa seseorang.

Ilustrasi mental

Kita pasti pernah dengar istilah ‘gangguan jiwa’. Nah, dari istilah itu kita juga bisa tau kalau keadaan mental seseorang itu bisa terganggu, tidak selalu stabil. Mengutip laporan Mayo Clinic (2019), gangguan mental biasanya bertanda dengan perubahan kondisi mood, cara berpikir dan juga perilaku seseorang.

Apa itu Mentalitas dan Kaitannya dengan Pola Pikir

Menurut sejarah penggunaan kata mentalitas, kata ini mulai mereka gunakan dalam Bahasa Inggris ‘mentality’ semenjak abad ke-17, yang mereka ambil dari kata ‘mental’. Kemudian pada abad ke-18 beradopsi juga ke Bahasa Prancis, walaupun penggunaan sebagai bahasa umum baru di mulai pada abad ke-19.

Kata ‘mentalitas’ menjadi semakin terkenal dan penggunaannya pun menyebar ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Dalam KBBI, mentalitas sendiri berdefinisi sebagai keadaan dan aktivitas jiwa (batin), cara berpikir, dan berperasaan. Kalau menurut Psychology Dictionarymentalitas adalah kualitas kemampuan akademik atau kognitif seseorang.

Dari kedua definisi di atas ada dua poin yang mengarah pada hal yang sama, yaitu cara berpikir dan kemampuan kognitif. Kemampuan kognitif sendiri merupakan kemampuan seseorang berpikir atau memproses informasi yang ia dapatkan. Jadi, kita bisa katakan kalau salah satu hal yang kita anggap sebagai mentalitas adalah cara dan kualitas berpikir seseorang, atau sering juga kita sebut pola pikir.

Nah, di situlah, mentalitas berkaitan dengan pola pikir yang mana cara berpikir itu sendiri. M. Yunus S.B dalam bukunya yang berjudul Mindset Revolution (2014) menjelaskan kalau maksud dari pola pikir adalah “cara otak dan akal menerima, memproses, menganalisis, mempresepsi, dan membuat kesimpulan terhadap informasi yang masuk melalui indra kita.

Yunus juga mengatakan, “Setiap pikiran menjadi penyebab, dan setiap kondisi yang terjadi merupakan suatu akibat.” Artinya, pikiran seseorang sangat berpengaruh terhadap kondisi atau hal-hal yang terjadi dalam hidupnya. Itu kenapa, memiliki pola pikir atau mentalitas yang baik penting sekali dalam belajar. Karena, pola pikir yang kita miliki sangat mempengaruhi hasil belajar kita.

Permasalahan Mentalitas yang Mengganggu Belajar dan Solusinya

Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pola pikir seseorang adalah konsep diri atau self-concept yang dimilikinya. Apa itu konsep diri?

Dalam buku yang berjudul Human Development (Diane & Sally, 1978), definisi konsep diri adalah pemahaman dan pengendalian seseorang terhadap dirinya sendiri. Nah masing-masing orang, termasuk kita memiliki konsep diri yang berbeda satu sama lain.

Ilustrasi cara pandang diri atau konsep diri

Pada dasarnya konsep diri ini bagaimana kita memandang diri kita sendiri. Dari segi fisik maupun mental. Contohnya, dari segi fisik kita memandang diri kita sebagai seseorang yang cantik, tinggi dan berambut pendek. Dari segi metal, kita memandang diri kita sebagai seseorang yang penuh semangat dan cerdas. Seperti yang tadi sudah saya sebutkan, bahwa pola pikir itu menentukan kondisi yang kita alami. Jadi memiliki konsep diri yang baik juga penting supaya pola pikir kita tidak cenderung negatif.

Tapi, terkadang seseorang mengalami yang namanya false belief. Di mana seseorang mempercayai sesuatu dengan sangat yakin tanpa menyadari bahwa hal itu salah. Nah keyakinan itu mempengaruhi konsep diri. Misalnya, kalau kita percaya public speaking hanya bisa berlaku bagi mereka yang berbakat, ya ketika kita merasa lemah di bidang itu kita bisa berpikir bahwa kita emang nggak bakat dan nggak bisa public speaking.

Akibat false belief seseorang bisa memandang dirinya dengan negatif. Contohnya seperti pikiran-pikiran pesimis yang saya sebutkan di awal tadi. Yang bisa bikin hal yang sebenarnya bisa kita lakukan malah jadi nggak bisa. Kenapa? Karena, seperti yang Yunus (2014) jelaskan, keyakinan pikiran itu terbentuk dari sebuah pikiran yang terus diulang-ulang. Kalau kita mikir “saya tidak bisa matematika” terus menerus, ya lama kelamaan itu akan menjadi keyakinan yang bisa jadi nyata.

Terus gimana dong cara melawan pikiran pesimis itu? Salah satu caranya adalah dengan menjadi lebih optimis? Kalau memang merasa nggak bisa terus gimana? Masak harus optimis?

Nah, kita bedakan dulu nih, gimana sih pola pikir orang pesimis dan optimis?

Mental Pesimis dan Optimis

Martin E. P. Seligman, dalam bukunya yang berjudul Authentic Happiness (2005), menyampaikan bahwa orang yang pesimis cenderung percaya kalau apa yang mereka alami itu permanen. Dan cara memandang permasalah cenderung secara general.

Kalau orang optimis, mereka memandang permasalahan mereka sebagai hal yang temporer atau sementara saja. Cara mereka memandang permasalahan lebih spesifik.

Nah, kalau kita ingin memiliki mentalitas atau pola pikir yang baik dalam belajar. Kita bisa nih mencoba merubah cara berpikir kita yang pesimis dan negatif dengan cara lebih spesifik dalam menyebutkan kesulitan atau permasalahan yang kita hadapi. Dengan begitu, kita juga nggak akan menghambat diri kita dalam menguasai materi-materi sekolah hanya karena pola pikir yang salah.